Perempuan-Perempuan Berpayung Langit

Perempuan hidup bermata cinta
Mengemban cinta
Dan berhati saja
Perempuan hidup atas cinta
Setia, dalam cinta
Dan pergi karena cinta
Jangan bohongi perempuan
Jika tak ingin dunia terluka
Awan menggelembung hitam melebar di langit, hujan mulai merintik di sudut-sudut kota.
            “ Mak….. Mamak, plastiknya habis Mak, sudah mulai gerimis ini Mak “ Teriak Nani Pertiwi, seorang gadis berusia tiga belas tahun.
            “ Masih ada tiga lembar lagi diatas meja Nan, itu buat menutupi baju seragam sekolahmu dan Nia biar tidak kebasahan terciprat air hujan “ Jawab Mamak santai sembari membuat sambal di pojok rumah. Nia dan adik bungsunya Neli sibuk memperhatikan Mamaknya.
Kemudian Nani bergegas mengambil plastik di tempat yang telah dituduhkan Mamaknya dan menutup rapih baju-baju seragam yang ia letakan diatas meja, Lemari ? jangan tanyakan keberadaannya pada keluarga sederhana ini, langit-langit rumah yang sudah lapuk dan berlubangpun masih belum cukup biaya memperbaikinya. Ketika hujan turun maka masuklah air kedalam rumah berukuran 4m x 4m itu melalui tiga buah lubang sebesar biji kurma, pun ketika matahari begitu terik, maka sebagian sinarnya akan begitu saja masuk kedalam rumah tua milik Mamak.
Sepeninggal suaminya, Mamak begitu prihatin menghidupi ketiga putrinya, terbiasa hidup penuh kekurangan namun tak pernah putus asa, baik kehujanan maupun kepanasan ialah Mamak, Mamak yang tak pernah patah semangat menyekolahkan ketiga putrinya, cita-citanya hanya satu yakni melihat ketiga putrinya mampu sejajar dengan seorang kaya dalam hal pendidikan.
Neli si bungsu yang berusia dua tahun setiap hari digendong-gendong Mamak, tak pernah luput dari perhatian Mamak, meski ratusan jam telah Mamak habiskan dengan peluh yang hampir sama, peluh keikhlasan.
“ Nani, bagaimana sekolahmu ? “ Tanya Mamak sembari merapikan baju-baju diatas meja.
“ Oh ya, Nani belum cerita kepada Mamak, untuk tiga semester ini Nani tidak perlu membayar SPP Mak, Nani mendapat beasiswa di sekolah “ Nani menjawab antusias menghentikan bibirnya ditengah membaca buku sejarah.
“ Benarkah ? “ Kali ini Mamak bertanya lebih antusias
“ Iya benar Mak, jadi nanti Mamak tinggal membayar SPP Nia saja, Nia juga harus bisa mendapat beasiswa seperti kak Nani dong “ Goda Nani kepada anak tengah Mamak, Nia Pertiwi anak kelas lima sekolah dasar itu hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya pertanda siap. Mata Mamak terihat lebih berbinar dari sebelumnya.
“ Mamak Bangga pada kalian anak-anak Mamak “ Kata Mamak, matanya terlihat berkaca-kaca tapi airnya tak sempat menetes dipipi Mamak.
***
Jam sudah menunjukan pukul lima sore, tapi hujan tak jua reda Mamak beberapa kali bangkit dari tempat duduknya melongok hujan dari jendela berbahan kayu jati yang indah, di rumah Bu Lastri setiap hari rabu dan jum’at Mamak selalu di sana mencuci baju-baju keluarga dan membantu menerima order kue, hanya rabu dan jum’at, dihari lainnya Mamak akan berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya untuk menjadi buruh cuci dengan upah yang tak tentu, berapapun pemberian sang empunya baju itulah upah Mamak, itulah pekerjaan Mamak sehingga bisa menghidupi seluruh perempuan di rumah kotak Mamak.
“ Bawa saja payung ini Mak, Mamak pasti cemas dengan anak dirumah bukan “ Kata Bu Lastri sembari menyerahkan payung bermotif bunga-bunga warna biru.
“ Tidak usah Bu, saya sudah banyak merepotkan, kalau boleh saya mau minta plastik saja buat menutupi badan anak saya Bu “  Jawab Mamak
“ Mak, sudahlah tak perlu sungkan, ini payung dari pada tidak terpakai dikeluarga ini mending Mamak bawa pulang saja, kemarin saya juga lihat Nina pulang sekolah hujan-hujanan, kasihan dia, ayo terima saja Mak “ Bu Lastri mencoba meyakinkan Mamak
“ Tapi Bu “ Perkataan Mamak terhenti karena Bu Lastri sudah menggenggamkan payung di tangan Mamak, senyum Mamak merekah hal terindah adalah ketika dua orang bisa tersenyum penuh dengan ketulusan diantara keduanya.
“ Terimakasih banyak bu, maaf saya jadi merepotkan, kemarin memang yang membawa payung hanya Nia, Nani lebih sering mengalah. Nani pasti senang mendapat payung bagus ini dari Bu Lastri. “
“ Lalu Mamak “
“ Saya biasa berbekal plastik saja Bu, sekedar untuk melindungi tubuh bungsu saya “ Jawab Mamak yang kemudian berpamitan pulang.
Baik hujan maupun panas perempuan seperti Mamak dan anak-anaknya bukanlah perempuan yang lemah, kondisi tubuh tuanya masih kokoh melalui waktu berteman peluh, terbiasa kedinginan terbiasa pula kepanasan, Sore tanpa hujan berpandang langit mega merah adalah senja yang amat indah untuk Mamak dan putri-putinya. Selesai sholat Isya Nia dan Neli bergegas tidur, tidurnya tetap nyenyak meski tanpa bed cover seperti yang lainnya, di kasur itulah empat perempuan bermimpi menjemput takdir yang lebih baik, Pagi harinya Mamak selalu membangunkan putri-putrinya untuk menyapa Tuhan, agar semua bisa merasakan arti dari ketenangan dalam penghambaan.
Tuhan,
Hamba tak berhak atas segala, ini raga
Adalah daging-daging pada rimbanya dosa
Sungguh Tuhan,
Ampuni segala lara yang meracuni hati, lalu hina
Menyusup dalam khusyuk
Membungkus aroma do’a di peraduan yang menua
Inilah sebuah pengakuan
Aku !!!! adalah yang berharap nafas, bahagia
Dunia dan syurga

Perempuan-perempuan di rumah Mamak adalah Pertiwi-pertiwi Negri, dengan langit mereka biasa memeluk luka dan cinta dan daripadanya ada ketulusan yang tak bisa diucap kata-kata, meski hatinya separuh, sang empunya rusuk telah meluruh, tapi Perempuan akan selalu bisa tegar meski hidupnya penuh dengan tangisan.

0 komentar:

Posting Komentar