Atas Nama Setia, Kembalilah Cinta
“ Cinta, tinggalah sejenak … jangan biarkan waktu merenggut pertemuan kita
yang sebentar, menjadikannya lamat-lamat hanya memanggil namamu dibalik do’a
setiap tahajudku, kau pun pasti merindukan kebersamaan ini, aku mohon jangan
lekas pergi.” Aku menatap bola mata yang
berbinar terang itu, mengingat sekali lagi ejaan-ejaan huruf dari bibirnya
beberapa detik lalu, ah benarkah ucapmu ? Aku masih mematung sementara hati dan
jiwaku sudah tak peduli lagi dengan rotasi dan revolusi bumi ini.
Dunia berhenti, detikan jam sudah tak terdengar lagi, hanya ada suara
cicit-cicit semut yang mendendangkan syair perpisahan. Sekujur tubuhku semakin
kelu, memandangi sosok yang tengah menarik-narik tanganku dengan raut kesedihan
di sepanjang garis wajahnya.
Aku memutuskan untuk duduk sebentar, mengikuti keinginan separuh jiwaku.
“ lantas, kau masih akan pergi meninggalkanku ? “ ucapnya menjadikan waktu
berputar seperti biasa.
Aku hanya tertunduk, mengangguk.
“ tapi aku masih ingin kau disini, temani aku untuk beberapa hari saja, aku
janji akan kuceritakan kau cerita tentang Cinderella atau rama dan shinta.”
Lelaki separuh hatiku itu memohon dengan air muka tak bersemangat.
Aku masih diam, tak berucap.
“ aku merindukanmu, aku akan selalu merindukanmu, sekarang kau pergilah,
biarkan separuh hatimu ini menunggu untuk kesekian kalinya. “ lelaki berwajah
sendu itu perlahan melepaskan pegangan eratnya di tanganku. Aku berdiri,
tatapanku masih berfokus pada separuh hatiku. Ia hanya mengangguk memahami
kepergianku. Aku dilepas dengan air muka kesedihan lelaki itu, air muka yang
penuh cinta dan ketulusan, didalamnya ada hati dengan kepercayaan yang indah
yang selalu bermuara di setiap sujud pemiliknya.
***
Aku sampai disebuah pondok kecil, melanjutkan tugasku sebagai Guru. Ah,
terlalu mashur disebut seorang Guru, aku hanya seorang pembagi ilmu yang
sedikit karena aku tak punya ijazah pendidikan untuk disebut seorang guru. Aku
hanya membagi ilmuku yang sedikit itu di sebuah desa terpencil di Bangka
Belitung.
Awalnya aku diajak seorang rekan mengunjungi kemolekan Bangka Belitung, dua
minggu disana cukup bagiku menyelami kehidupan Belitung. Bukan, bukan di sebuah
kota indah dengan segudang kreatifitas, namun di sebuah desa terpencil yang
kehidupannya amat memilukan.
Bagaimana dengan kekasih hatiku, separuh jiwaku yang kutinggalkan demi
kehidupan dan jalan yang telah kupilih untuk hidupku ini, rupanya ia seorang
yang berhati besar, berhati mulia dan berhati layaknya manusia power untukku.
Satu dua kali ia mengeluh berada jauh dariku namun ia sendirilah yang
membimbing hatinya untuk teguh dan tegar meski hari-harinya tak dihiasi canda
tawaku, ah kau terlalu budiman lelakiku.
Tuhan, sampai nanti kau buat aku halal baginya, maka sepanjang hayatku akan
ku abdikan diriku untuk lelaki itu. Lelaki yang dengan izinmu menjadi jodohku.
Arry, Ia tak pernah lelah menungguku berhari-hari, berbulan-bulan hingga
tahun berganti, aku tak mengerti apa yang ia lakukan tak melebihi batas untuk
seorang manusia yang menanti, satu kalimat yang juga membimbing hatiku untuk
memilih lelaki itu menjadi imamku dengan tidak berbuat macam-macam di pulau
orang adalah hanya kalimat arry, kalimat yang membuat seluruh tubuh bergetar “
telah ku temukan kau dalam istiharahku. “ ucapnya sepuluh Muharram empat tahun
silam.
***
Arry, dialah kekasih hatiku, separuh jiwaku yang tak pernah terganti sejak
pertemuan malam itu di sebuah acara Tabligh Akbar, aku terpesona dengan
moderator di acara tersebut yakni Arry. Ya, dia yang namanya selalu dihati.
Setahun setengah lagi aku berada di Belitung, Ibu dan Bapakku sudah terlalu
ringkih untuk selalu ku tinggalkan, atas permintaan merekalah setahun setengah
terakhir itu ku abdikan diriku buat bocah-bocah Belitung. Rasanya akan banyak
kenangan, akan banyak pelajaran dan kebahagiaan yang tertinggal di Belitung.
Setahun setengah berlalu begitu cepat, secepat datangnya Muharram, aku tersipu
malu.
Tepat dihari ketiga sebelum kepulanganku
menjemput keluargaku dan Arry, anak-anak Belitung yang biasa ku ajari
membaca, berhitung dan bernyanyi beranjangsana ke pondokku, kupandangi wajah
anak-anak itu, ada seukir bahagia dan sedih yang bercampur membentuk
wajah-wajah mereka semakin terlihat lucu dengan aksen kekanak-kanakannya, salah
satu tangan mereka membawa plastik hitam yang berisi kempelang atau jajanan
kerupuk Bangka, salah satu yang lain membawa dodol khas Bangka, aku tersenyum
memandangi sekali lagi anak-anak didepanku. Perasaan yang sama ketika aku harus
meninggalkan Arry ke Bangka, hanya ada cicit-cicit semut yang mendendangkan
syair perpisahan.
Aku meninggalkan daerah itu, diantar dengan suara tangis anak-anak yang
dengan sesenggukan sembari memeluk ibunya. Dengan sekuat tenaga ku tahan air
mata yang sudah mengetuk mataku memaksa ingin keluar, tapi yang selalu ku
ajarkan kepada anak-anak itu adalah jangan menangis dan jangan menangis, jadilah aku harus seperti yang kuucapkan
kepada anak-anak itu meski sepertinya ucapanku tak mereka dengar karena yang
kulihat kini mereka justru menangis, aku tersenyum meninggalkan mereka, mereka
melambai-lambaikan tangannya, dadah.
“ Anne tunggu ibu kembali. “ teriak salah satu gadis kecil dengan linangan
air yang masih di pipinya.
Aku menangguk dari kejauhan, berdadah lagi. Satu dua bulir air mataku jatuh
tanpa mereka tahu, karena aku yakin saat ini mereka hanya bisa memandangi
punggunggku.
***
Aku kembali menikmati aroma pagi di kampung halamanku, masih asri seperti
satu setengah tahun lalu aku kembali. Ada seonggok rasa yang menyundul-nyundul dinding
hatiku, ya aku rindu Arry.
Matahari sudah tak malu-malu lagi menyapa bumi, sinarnya begitu merona
menyilaukan pandangan mata, aku bergegas ingin menemui Arry. Seperti yang
selalu ia ceritakan saat-saat terik seperti ini pasti ia tengah menjaga toko
keluarganya ditemani secangkir kopi dan bacaan-bacaan islami. Aku
tersenyum-senyum membayangkan kekagetan
Arry melihatku dihadapnya.
Aku berpamitan kepada ibu untuk mengunjungi Arry setelah mengenakan Jilbab
Biru kembang-kembang favoritku, tapi ibu mencegahnya. Kenapa Bu ? aku masih tak
mengerti, berusaha membujuk Ibu mengijinkanku, karena bertahun-tahun dengan
Arry Ibu selalu mengerti karena meyakini Arry mampu menjagaku. Aku kecewa
dengan Ibu.
Aku hanya diam seharian itu, mematung tak bergairah, aku merindukan Arry.
“ Kenapa Nak ? kau pasti merindukan Belitung yah ?” Tanya Ibu sembari
membawakan makanan ringan dan duduk disampingku.
Aku tersenyum, menjawab lembut “
Iya, salah satunya. “ aku percaya Ibu mengetahui maksud jawabanku.
“ Jangan ganggu Arry lagi Nak, Ahad depan dia akan dinikahkan dengan anak
Pak Mansyur. “ Ibu berkata pelan, takut-takut aku kecewa dan marah.
Aku jelas kecewa tapi aku tak bisa marah dengan Ibu, setelah mendengar
cerita Ibu tentang Arry yang akan dinikahkan dengan anak gadis Pak Mansyur aku
kembali ke kamar memeluk gulingku, dan kali ini aku tak bisa menahan ketukan
air mata dipintu mataku, aku menangis.
Arry belahan jiwaku, kenapa dengan takdir kesetiaan kita ? tak ada yang
salah bukan jika kita memilih setia, tapi kenapa dengan takdir ini ? Tuhan,
maafkan aku yang tak bisa menerima jalanmu, hatiku semakin sesak mengingat
Arry, mengingat ucapan-ucapan Arry, mengingat kesetiaan kita berdua. Arry jika
begini jalannya, kau pasti salah beristiharah, kau pasti tak pernah menemukan wajahku
dalam istiharahmu, kau pasti …. Aku menangis menahan perih.
Arry dinikahkan dengan anak gadis Pak Mansyur, rekan kerja Bapaknya. Anak
gadis Pak Mansyur terkenal binal dan sering keluar malam, hingga akhirnya
Ranti, nama gadis itu hamil diluar nikah. Pak Mansyur dengan menangis
sesenggukan meminta Arry untuk dinikahkan dengan Ranti, awalnya Bapak Arry
menolak, tapi tak kuasa melihat kesedihan Pak Mansyur akhirnya menyetujui
rencana itu. Arry diyakini mampu membimbing Ranti karena itulah Bapak Arry
merelakan bujangnya memperistri Gadis Nakal itu. Arry menolak atas rencana itu
karena Arry masih memegang teguh kesetiaannya terhadapku, Rahma. Tetapi setiap
hari Bapaknya menasihati anak bujang yang diperintahkan memperistri Ranti itu,
dan mengatakan Rahma akan merelakan Arry karena itu semua termasuk ibadah,
ibadah karena tak menolak keinginan Bapak, Ibadah karena nikah, dan ibadah
karena membimbing Ranti kelak, dengan berat hati Arry menyetujui pernikahan
itu, Arry memang terlalu budiman tak berani ia melawan perintah kedua orang
tuanya, apalagi ketika telah dikhotbahi.
***
Separuh hati dan jiwaku kosong, tak ada lagi Arry namun namanya abadi.
Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan ku jalani dengan hati yang
semakin rapuh, puluhan kali ibu menjodohkanku dengan berbagai macam karakter
bujang aku masih tak mau, enggan dan belum mampu menggantikan sosok Arry, enam
tahun bersama Arry dan kesetiaan kita bukan hal yang mudah dibuang begitu saja.
Anak pertama Ranti dari hasil hubungan gelapnya lahir kedunia, kusempatkan
membesarkan hati menjenguk bayi cantiknya. Masih kulihat tatapan yang sama dari
Arry, tatapan kesetiaan itu, tak sengaja mata kami bertemu, kali ini bukan aku
yang menangis namun kulihat Arry beberapa kali menjatuhkan bulir air mata
dipipinya sebelum ia pamit ke toilet.
Bayi cantik meraka ternyata hanya bertahan 4 bulan di dunia ini, bayi
cantik itu sakit dan tak tertolong lagi. Aku sekali lagi berduka. Kupandangi
wajah Ranti, matanya sembap karena tak berhenti menangis, ku peluk istri
belahan jiwaku itu, ia membalas erat memelukku sembari sesenggukan. Mata Arry
terlihat sembap habis menangis pula.
Tiga Tahun setelah kepergian bayi cantik itu kudengar kabar bahagia
keluarga Arry, Ranti mengandung.
Sembilan bulannya kudengar Ranti dilarikan kerumah sakit akan melahirkan,
Naas, Ranti dan Bayinya tak tertolong, kondisi ranti teramat lemah, keduanya
dikebumikan. Aku tak sempat mengunjungi rumah duka saat itu, karena aku berada
di Bogor di daerah saudaraku. Semenjak Arry menikah kesendirianku ku gunakan
untuk pergi kasana-kamari, mengajari ngaji anak-anak kampung kelahiranku,
membangun rumah baca, membuat perkumpulan seni bersama anak-anak sekolah
pertama, menjadi guru les matematika, membantu ibu di kebun singkong, dan siap
sedia mengantarkan bapak yang tak bisa menggunakan sepeda motor.
Hari ketiga aku menghadiri acara Tahlilan untuk Ranti dan jabang bayi yang
tak sempat menikmati keindahan dunia, kutatap wajah Arry, kesedihan yang sama
seperti saat ia melepaskanku ke Belitung nampak terlihat begitu jelas, mulutnya
masih komat-kamit membacakan doa untuk istrinya, tak menyadari kehadiranku.
Setahun setelah kejadian menyayat hati itu aku jelas tak tahu lagi kabar
separuh jiwaku. Arry, Ia pasti amat terpukul atas kejadian itu, sedang apa kau
Arry ? sesungguhnya aku masih setia untukmu.
***
Pertemuan itu terjadi saat acara Khitanan keponakanku, Lelaki itu dengan
senyum mengembang menyapa kami, Lelaki berstatus Duda itu masih berkharisma
seperti tujuh tahun silam, ada yang berbeda dari raut wajahnya, sinar
kebapak-bapakan itu telah ada, tak seperti dulu lagi yang amat gemar menggodaku
diujung telepon hingga aku tertawa terkekeh-kekeh, kali ini berbeda, lelaki
belahan jiwaku itu terlihat amat dewasa mengenakan kemeja batik dengan celana
hitam.
Tiga bulan setelah pertemuan itu, kami memutuskan menikah. Menyatakan ikrar
setia. Oh, Tuhan… betapa sempurna kebahagiaan ini meski aku harus menunggu
sampai kebahagiaan itu benar-benar menjemput dengan izinMu.
Arry, dan beginilah sesungguhnya takdir kita. Kesetiaan dan keikhlasan akan
bersatu pula, Tuhan menggantikan kesetiaanmu atasku dengan kesetiaanku atasmu,
jikalau pada garisnya kau tetap bersama Ranti, pastilah Tuhan juga membuat hati
dan fikirku melupakan tentangmu, tapi tak bisa Arry, sampai detik ini aku
selalu merindukan kebersamaan kita, aku mencintaimu Arry, maka sepanjang
hayatku akan ku abdikan diriku untuk Kau lelakiku. Lelaki yang dengan izinNya
menjadi jodohku.
>_< Sekian >_<
0 komentar:
Posting Komentar