Aku tahu jarak kita, pria …
Bukan dua atau tiga centi dari pandangan mata terindahmu
Tapi,
Bukankah kau satu-satunya pemilik hatiku, Pria
Maka untuk apalagi kau cemburu
Sementara kau sendiri tahu
Hatiku terpatri atas cintamu
Hujan bertambah semakin deras, menandingi parau
kecemburuan kekasihku dengan suara di ujung handphone
yang jelas mulai mengisyaratkan ketidakpercaya-an, hampir-hampir aku tak bisa
menahan emosi, kesal atas tuduhan-tuduhannya yang mulai berlebihan sejak dua
bulan kita berjauhan.
Dua bulan berhubungan jarak jauh
atau long
distance memunculkan istilah
“ benci tapi rindu “ Rian memang tak berbeda seperti dulu saat aku belum
memutuskan bekerja di daerah yang berbeda dengannya, masih tetap pencemburu
akut, terlebih harus berhubungan long
distance seperti ini, sudah serupa orang yang kebakaran jenggotlah ketika
dalam status media sosialku memuji orang lain, kadang sebal memang dengan
sifatnya tapi aku selalu sayang Rian.
Aku rajin mendengar curhatan dari
beberapa teman yang telah menjalani long
distance terlebih dulu, disolusikan dengan komunikasi yang lancar, ah aku
fikir komunikasi saja tak cukup berhasil untuk menjalani long distance tanpa masalah buktinya Rian, hampir setiap hari tepat
pukul delapan malam sepulang kerja ia selalu menelponku, belum lagi komunikasi
melalui social media yang begitu banyak dan selalu Rian yang menjadi kontak
favoritku, rupanya tak cukup berhasil. Kuncinya adalah kepercayaan pada
pasangan.
Bulan sabit indah menggantung
dilangit, menggambarkan seulas senyum kekasihku dan wajah jelek sisa
cemburunya, oh Tuhan… bulan sabit inilah yang juga selalu membentuk rindu
menjadi begitu syahdu, dan Rian aku benci tapi selalu merindukan hadirmu.
Malam tanggal lima belas, tepat hari
ketujuh puluh lima seperti biasa Rian menelponku namun kali ini bukan pukul
delapan, iya kali ini pukul setengah sebelas malam, aku tak sempat berfikiran
macam-macam tentang keterlambatannya menelepon, tak berprasangka buruk aku
fikir Rian tengah ada kerjaan mendadak hingga tak sempat memberi kabar seharian
itu, kuangkat dengan suasana kantuk telepon dari kekasih hatiku itu, kantukku
semakin hilang saat kekasih hatiku menjelaskan jika ia sangat tak bisa
menjalani hubungan jarak jauh dan menginginkah kisah yang telah terjalin selama
dua tahun itu di tamatkan saja, bulir-bulir air mata entah sejak kapan
bersarang dipipi. Rupanya keprcayaannya tentang cintaku yang sebenarnya
sepenuhnya untuk Rian meski terhalang jarak belum juga Rian miliki, berbeda
denganku yang sungguh menjaga hati dan cintaku untuk kekasih hatiku seorang.
Bulan sabit terasa tak indah lagi,
bukan senyum yang tergambar dari hiasan langit itu melainkan murung, rintik
hujan menghiasi malam pertama kehidupan tanpa Rian, terasa begitu hambar, aku
merindukan segala caranya mencemburuiku tapi jelas aku membenci keputusannya
meninggalkanku dengan alasan yang sungguh tak dewasa itu, kini hubungan jarak
jauh itu bertambah jauh sejalan dengan hati yang kian merapuh.
Lihatlah,
Bulan begitu ranum
Memprologkan drama cinta dan percaya
Ah, tapi kau masih acuh Pria…
Menonton di balik kerumunan penonton
Hanya menyaksikan tak pernah mendesak bertahan
Aku kecewaku
Kamu kecewaku
Rintik hujan dalam padang kegalauan
Adalah rindu pada dentum bisu
menganaktirikan rasa, membenarkan kecewa
Pria, lain waktu kau akan tahu
Jika jarak adalah nadi kesetiaan
Meski pandang tak saling lekat
Sungguh hati yang mampu tetap berikan ketulusan
Jakarta, 11 April 2014
0 komentar:
Posting Komentar